Sudah lebih dari 1 tahun, era pandemi berlalu dengan banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan. saya menulis dan mencoba mengeja dari kaca mata bisnis pada kesempatan ini. Saya ingat pada tahun 2017, tahun dimana masih belum banyak yang menggunakan digital (setidaknya tidak lebih tinggi dari sekarang), beberapa pakar bisnis mengajak bisnis dan marketing menyuarakan ayo bergerak ke digital, sebuah ajakan visioner untuk didengungkan agar para bisnis sudah mulai melek ke digital dari sekarang.
Saya mulai tertarik dengan hal itu, dan kebetulan saya bertemu dengan perilisan buku Marketing 4.0 yang mana hampir semua isinya menjelaskan alasan kenapa harus bergerak dari konvesional ke digital, dari penulis bapak hermawan karta jaya, philip kotler dan bapak iwan setiawan, yang mana mereka semua adalah bapak pakar marketing practice indonesia dan dunia. Saya penasaran dengan hal itu, mereka mengajarkan bagaimana cara memprediksi trend atau menciptakan brand trend dengan formulanya. Dan yang saya ingat sampai sekarang adalah, mereka sempat memprediksi bagaimana jika semua aktivitas offline tidak ada? lalu semua berpindah ke digital tapi anda belum siap? maka itu, kita jika berpikir bisnis, perlu ada dan siap dari segala hal guna mendapatkan pondasi yang baik, pungkasnya.
Tahun bergerak maju, tibalah 2019 akhir dengan pandeminya.
Banyak sekali bisnis yang bergantung 100% melalui offline harus menerima pahitnya, karena semua operasional tidak diperbolehkan, mereka tidak bisa beraktivitas dan alhasil tidak semua bisnis bisa menghasilkan cashflow bagi bisnisnya. Semua tampak benar-benar kalut, pada waktu itu kebetulan kami sedang mengadakan kegiatan program digilisasi UKM rutin setiap minggunya, hanya saja dalam kegiatan itu offline dan bertatap muka, semuanya benar-benar berhenti.
Tapi, ada yang menarik. waktu itu saya dan rekan lainnya, punya sebuah sosial media yang membahas seputar bisnis dan permasalahannya, waktu pandemi itu naik drastis, orang-orang berbondong-bondong untuk ingin online dan ingin mendapatkan penghasilan dari rumah. Ini sebuah fenomena yang menarik memang, semua bisnis konvesional ingin online karena terdesar tidak bisa offline. Fenomena ini pernah dibahas 2 tahun sebelumnya dimana para pakar itu membahas bahwa, banyak perusahaan atau bisnis dalam praktiknya kurang cepat untuk digitalisasi, dikarenakan belum ada trigger yang mendorong mereka melakukan itu. Nah, pandemi membuat hampir semua bisnis terdorong untuk aktivasi digital, hingga sekarang akhirnya banyak bisnis mulai belajar adaptasi bahkan nyaman dengan digital. (bisa karena terbiasa)
Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Jumlah itu telah meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang.
Tahun sekarang, sosial media terlihat sangat masif, setiap hari banyak akun baru lahir, bahkan jika kita lihat di instagram banyak influencer menjual berbagai brand, hingga konten lainnya yang mendapatkan views jutaan, like ribuan dan lainnya. Memang sekilas semua itu tampak wow dan oh ya mereka kan artis, oh mereka kan influencer? Padahal, semua proses pengembangan sosial media sama saja. Semua berawal dari 1 postingan kan?
Saya mulai mengerucutkan lebih ke practicenya, teknisnya. Sekarang, bukan tidak mungkin kita membangun brand sendiri ataupun berbisnis melalui sosial media, karena semua itu lebih mudah dijangkau dari pada era sebelumnya. Kita hanya perlu tahu, kepada siapa kita akan mengenalkan brand kita dan siapa yang akan menjadi “fans brand” yang kita buat.
Setiap Brand Punya Fans Nya.
Dalam sosial media, gerakan fansbase menjadi perlu, karena mereka semua adalah manusia dan melihat berdasarkan ketertarikan. Kita bersama dengan jutaan, milyaran pemilik sosial media lainnya. Tentu, tidak semua orang suka dengan novel harry potter kan? tidak semua juga suka kambing guling. Semua sosial media saling terkoneksi dan mereka cenderung menyukai apa yang mereka sukai saja, lalu mengabaikan yang menurut mereka itu bukan selera mereka.
Sebagai seorang pemasar, kita perlu paham hal ini, kepada siapa kita akan membicarakan mengenai ide briliant ini? jika kita membicarakan mengenai kambing guling kepada mereka yang menggemari nasi pecel, maka sebanyak apapun kita membicarakan itu mereka tidak akan tertarik. Nah, hal itu berlaku juga jika kita sebagai pebisnis tentunya, analogi diatas menjelaskan bahwa kita perlu mengetahui siapa yang akan kita kenalkan dengan brand kita, mungkin dimulai dari lokasinya tinggal daerah mana? lalu, apa hobby / life style mereka? apa yang mereka sukai? hingga berapa usia dan lebih mendalam adalah perangkat mereka.
Setidaknya, dengan begitu kita akan lebih kenal dengan calon pelanggan kita, itu semua mungkin berlaku untuk sosial media berbasis post, karena kekuatan dari instagram adalah berbicara dengan visual, jika pesan yang kita sampaikan menarik dan mendorong mereka untuk menyukai setiap postingan / feed kita, bisa jadi mereka adalah fans kita.
Dan sebenarnya tugas bisnis brand yang utama adalah mencari fans base – Peter Drucker
Sehingga untuk itulah di era sekarang, kenapa sosial media menjadi sangat penting? karena jika kita sebagai pemilik brand, pemilik bisnis salah satu cara untuk mengenalkan diri dengan cepat di era sekarang ya lewat sosial media, dan lewat sosial media itulah calon pelanggan kita menemukan hingga memutuskan, apakah ini cocok? apakah ini menarik? apakah ini yang saya inginkan?
Tantangan itulah yang terus digali oleh para pemasar digital, PR utamanya adalah bukan tentang teknologi saja, tapi kecermatan membaca siapa calon pelanggan yang datang dan melihat brand kita. Dan bagaimana sebuah brand menemukan pemilik-pemiliknya (customer).
See you next case..
M. Nahrowi